Gus Huda, Tak Bosan Memberi Bekal Agama kepada Mantan Preman

SEMARANG (Santrindalan.id) – Belajar agama menjadi hak semua manusia, termasuk para anak jalanan dan preman. Di tengah “pemberontakan” batinnya, mereka sebenarnya menginginkan tempat untuk merubah watak dan nalurinya. Dan itu bukan hal yang mudah.
Pondok Pesantren (Ponpes) Santri Ndalan (Sandal) Nusantara, menjadi salah satu Ponpes yang konsen mewadahi orang-orang dari latar belakang marjinal.
Ponpes Sandal bisa dibilang berbeda dari Ponpes lainya. Santrinya tidak hanya anak-anak yang butuh pengetahuan agama sejak dini, tetapi juga datang dari kalangan preman, mantan napi, peminum, pemabuk, hingga pengguna narkoba, dan lain sebagainya.
Mereka datang tidak ingin sekadar mengaji atau belajar agama, tetapi mencari solusi untuk mengubah perjalanan hidupnya. Di Ponpes Sandal itulah para kaum marjinal itu seperti menemukan tempat yang tepat.
Di sisi lain, Ponpes Sandal memiliki konsekuensi mendidik para santrinya untuk mencintai negerinya. Jangan sampai generasi bangsa terkooptasi radikalisme dan terorisme. Paham-paham anti Pancasila itu memang sempat mengintai bahkan merasuki perilaku anak-anak muda.
“Awal berdirinya Sandal Nusantara ini sebenarnya karena paham radikalisme yang berkembang pesat, banyak orang yang berpendidikan dan sedang mencari Tuhan mau masuk kesana. Sandal muncul sebagai wadah mereka untuk belajar agama,” kata pengasuh Ponpes Santri Ndalan (Sandal), Kyai Muhammad Nurul Huda.
Ponpes Sandal Nusantara, saat ini berpusat di Masjid Baitun Naim Pleburan Semarang. Gus Huda, sapaan akrab kyai muda itu, mengakui 99 persen santri yang ada di Sandal adalah ’bodolan’, atau mereka yang bermasalah dengan dirinya. Namun, menurutnya, Allah selalu memerintahkan hambanya untuk bertaubat, meskipun pernah melakukan kesalahan dan dosa.
“Dulunya mungkin mereka belum terdidik (secara agama, -red), meskipun sudah ada yang berpendidikan tinggi tapi masih kurang pendidikan. Ilmu dan akal, kalau tidak dilakukan dengan baik alias tidak dari dalam hati, tentu jadinya okol. Insya Allah dengan diberikan pendidikan yang baik, dan dikenalkan dengan agama tentu akan lebih baik lagi,” bebernya.
Afiliasi NU
Kepada beberapa wartawan yang menemui di pondoknya, salah satunya dari Jawa Pos Radar Semarang, Gus Huda menjelaskan, Ponpes Sandal bisa disebut pesantren yang berafiliasi Nahdlatul Ulama (NU), yang memiliki Banom kepemudaan, yakni Ansor dan Banser.
Gus Huda menambahkan bahwa Sandal menjadi wadah masyarakat dengan latar belakang yang berbeda untuk belajar tentang NU, setelah itu tentu para santri akan diarahkan ke dua cabang kepemudaan NU tersebut.
“Nggak mungkin dari jalanan langsung masuk ke sana, harus ada wadah dulu. Nah setelah kita wadahi, nanti kita arahkan untuk masuk ke Ansor ataupun Banser,” tuturnya.
Sebelum Ramadan, kegiatan nyantri di Sandal Nusantara cukup unik, yakni ngaji di taman-taman kota, misalnya di Taman Pandanaran, Taman Kasmaran Kalisari, Tugu Muda, Simpang Lima ataupun kawasan Banjir Kanal Barat.
Meskipun kegiatan keagamaan dipusatkan di Masjid Baitun Na’im, Gus Huda ingin tempat yang tidak pernah dibuat atau dipakai mengaji bisa dipakai mengaji.
“Ya intinya nggak buat pacaran tok. Khusus Ramadan kita pusatkan di masjid Masjid Baitun Na’im,” katanya.
Kegiatan selama Ramadan, yang dilakukan, lanjut Gus Huda, adalah Pesantren Kilat, ngaji beberapa kitab yang dihatamkan selama sebulan, yang ia bagi dalam lima program. Yakni sebelum magrib, sebelum tarawih, setelah tarawih, tengah malam lanjut sahur, dan setelah salat subuh. Materi yang diberikan, seperti kitab Fathul Qorib yang isinya tentang ilmu fikih, lalu ada Arbain Nawawi, yang berisi 40 hadis populer, mengaji Alquran dan sebagainya.
“Untuk ngaji Quran, kita gunakan sistem bandongan, jadi saya baca santri menirukan. Setiap jam 1 malam juga kita adakan malam istighosah,” tuturnya.
Santri Non-Muslim
Untuk jumlah santri, Gus Huda membeberkan santri di Sandal Nusantara yang menetap sekitar 30 orang. Sisanya sekitar 300-an santri adalah santri kalong yang berasal dari Semarang dan sekitarnya. Selain itu juga ada beberapa santri yang memiliki keyakinan agama yang berbeda, alias beda agama.
“Saat ngaji atau kajian ya santri yang tergabung minimal 70 persen saat Ramadan ini, harus hadir,” tegasnya.
Gus Huda menjelaskan, jika kebanyakan Ponpes didirikan alumnus Ponpes, berbeda dengan keadaan di Sandal Nusantara. Semangat untuk mendirikan Ponpes, malah berasal dari alumnus jeruji besi, yang saat ini ingin belajar agama lebih mendalam dengan tujuan agar generasi muda yang ada saat ini tidak terjerumus ke hal-hal yang berbau negatif.
“Inilah yang unik dari Sandal Nusantara, latar belakang santri kita berbeda. Dan mereka tidak ingin melihat generasi saat ini terjerumus hal yang negatif dan merugikan, sehingga mereka punya semangat untuk mendirikan ponpes,” kata Gus Huda.
Gus Huda menjelaskan, Sandal Nusantara sejatinya sudah terbentuk pada 2014 silam. Namun baru mendapatkan legalitas dari Kementerian Agama pada tahun 2018 silam. Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Semarang, Iswar Aminuddin pun saat ini didapuk menjadi salah satu Pembina Sandal Nusantara.
“Sebagai pembina, Pak Iswar mengapresiasi kiprah Sandal, yang menjadi perkumpulan anak muda untuk mengakomodir anak-anak jalan, preman dan lainnya. Bahkan Pak Iswar menyebut dulu wilayah Pleburan adalah tempatnya gali alias preman, saat ini sudah berubah, meskipun masih isinya gali tapi syariah,” canda Gus Huda sembari tertawa. (*)